INFORMASI

Tidak akan kekurangan ilmu, jika kita berbagi ilmu.
(We Will Not Lost Our Knowledge if we share it to everyone)

Kamis, 01 Mei 2014

PEMBAHASAN SEJARAH PERKEMBANGAN USHUL FIQIH

Dalam sejarah islam, fiqh sebagai hasil ijtihat para ulama lebih dahulu popular di kalangan umat islam dan dibukukan dalam system tertentu dibandingan dengan ushul fiqh. Perumusan ushul fiqh dilakukan setelah nabi saw wafat, yaitu periode sahabat. Sementara ushul fiqh sebagai sebuah metode istinbath, baru tersusun sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke 2 hijriah. Namun, para ahli hokum islam mengakui dalam prakteknya ushul fiqh muncul berbarengan dengan lahirnya fiqh.[1]  

1.      Fiqih pada masa Nabi SAW
Ushul fiqih bersamaan munculnya dengan ilmu fiqih meskipun dalam penyusunannya ilmu fiqih dilakukan lebih dahulu dari pada ushul fiqih. sebenarnya keberadaan fiqih  harus didahului oleh ushul fiqih, karena ushul fiqih itu adalah ketentuan atau kaidah yang harus diikuti mujtahid pada waktu menghasil fiqhnya. Namun dalam perumusanya ushul fiqih datang belakanga.[2]
Di zaman Rasulullah SAW sumber hukum Islam hanya dua, yaitu Al-Quran dan As-sunnah. Apabila suatu kasus terjadi, Nabi SAW menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka Rasulullah SAW menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadits atau sunnah.
Hal ini antara lain dapat diketahui dari sabda Rasulullah SAW sebagai berikut: “Sesungguhnya saya memberikan keputusan kepada kamu melalui pendapatku dalam hal-hal yang tidak diturunkan wahyu kepadaku.” (HR. Abu Daud dari Ummu Salamah)
Dengan cara seperti itulah mu'az ibn jabal memberiakn jawaban kepada nabi dalam dialoq diantara keduanya sewaktu mu'az diutus nabi keyaman untuk menduduki jabatan wali.[3]
 عَنْ مُعَاذٍ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَمَّا بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ لَهُ : كَيْفَ تَقْضِى إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟. قَالَ : أَقْضِى بِكِتَابِ اللَّهِ. قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْهُ فِى كِتَابِ اللَّهِ؟ قَالَ : أَقْضِى بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْهُ فِى سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ ..قَالَ : أَجْتَهِدُ بِرَأْيِى لاَ آلُو.
“Dari mu’az : susungguhnya Rasulullah SAW ketika mengutusku untuk pergi ke Yaman. Nabi bertanya padaku: “Bagaimana engkau (mu’az) mengambil suatu keputusan hukum terhadap permasalahan hukum yang diajukan kepadamu?”
 mu’az: “saya akan mengambil suatu keputusan hukum berdasarkan kitab Allah (Al-Quran). Nabi : Kalau kamu tidak menemukan dalam kitab Allah?
 Mu’az,: saya akan mengambil keputusan berdasarkan keputusan berdasarkan sunnah Rasulullah. Nabi:  jika engkau tidak ketemukan dalam sunnah? Mu’az: saya akan berijtihad, dan saya tidak akan menyimpang.
Dorongan untuk melakukan ijtihad itu tersirat juga dalam hadits Nabi yang menjelaskan tentang pahala yang diperoleh seseorang yang melakukan ijtihad sebagai upaya yang sungguh-sungguh dalam mencurahkan pemikiran baik hasil usahanya benar atau salah. Selain dalam bentuk anjuran dan pembolehan ijtihad oleh Nabi di atas, Nabi sendiri pada dasarnya telah memberikan isyarat terhadap kebolehan melakukan ijtihad setidak-tidaknya dalam bentuk qiyas sebagaimana dapat kita temukan dalam hadits-haditnya sebagai berikut :
“Seorang wanita namanya Khusaimiah datang kepada Nabi dan bertanya, Ya Rasulullah ayah saya seharusnya telah menunaikan haji, dia tidak kuat duduk dalam kendaraan karena sakit, Apakah saya harus melakukan haji untuknya? Jawab Rasulullah dengan bertanya bagaimana pendapatmu bila Ayahmu mempunyai utang? Apakah engkau harus membayar? Perempuan itu menjawab , Ya, Nabi berkata utang kepada Allah lebih utama untuk dibayar.
Hadits ini menggambarkan upaya qiyas yang dilakukan oleh Nabi, yaitu ketika seorang sahabat datang kepada Nabi yang menanyakan tentang keharusan penunaian kewajiban ibadah haji bapaknya yang mengidap sakit, Nabi menegaskan keharusan penunaiannya dengan melakukan pengqiyasan terhadap pembayaran utang antara sesama manusia.
Contoh–contoh yang ditemukan oleh rasulullah, baik ketika beliu masih hidup atau setelah wafat, menjadi bukti terjadinya praktis ijtihad pada masa itu hanya saja, pada waktu itu tidak tersusun sebagai ilmu yang kelak disebut ushul fiqh. Karna pada masa itu, ilmu tersebut belum dibutuhkan adanya. Sebab, rasul mengetahui cara-cara nash dalam menunjukan hokum, baik langsung maupun tidak langsung, sehingga beliu tidak membutuhkan adanya suatu ilmu khusus yang mengatur kaidah-kaidah ijtihad.[4]
2.      Ushul Fiqih pada masa sahabat
Para sahabat yang melakukan ijtihat melahirkan fiqh secara praktis mereka menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh, meskipun belum tersusun dalam satu disiplin ilmu. Kemampuan para sahabat menerapkan kaedah-kaedah ushul fiqh berasal dari bimbingan Nabi SAW. Mereka mengetahui dan mengikuti secara langsung praktek-praktek tasyri'(pembentukan hokum) yang dilakukan Rasul SAW.[5]
Sebagai contoh hasil ijtihad para sahabat, yaitu : Umar bin Khattab RA tidak menjatuhkan hukuman potong tangan kepada seseorang yang mencuri karena kelaparan (darurat/terpaksa). Dan Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa wanita yang suaminya meninggal dunia dan belum dicampuri serta belum ditentukan maharnya, hanya berhak mendapatkan mut’ah. Ali menyamakan kedudukan wanita tersebut dengan wanita yang telah dicerai oleh suaminya dan belum dicampuri serta belum ditentukan maharnya, yang oleh syara’ ditetapkan hak mut’ah baginya,[6] sebagaimana disebutkan dalam firman Allah yang artinya :
“Tidak ada sesuatupun (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu memberikan mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut.(al baqarah:263)
Menurut abd al-wahab abu sulaiman, para sahabat telah mempraktikan ijma', qias, dan istislah(maslahah mursalah) bilamana hokum suatu masalah tidak ditemukan secara tertulis dalam al-qu'an dan sunah. Praktik ijtihad para sahabat dengan memakai metode-metode tersebut telah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang baru mulai berkembang waktu itu. Menurut Muhammad abu Zahrah, ushul fiqh yang dirumuskan kemudian berakar dan diramu dari praktik-praktik ijtihat para sahabat[7]
3.      Ushul Fiqih Pada masa tabi’in.
Pada masa tabi'in metode istinbat menjadi semakin jelas dan meluas di sebabkan tambah luas daerah islam sehingga banyak permasalahan baru muncul. Banyak para tabi'in hasil didikan sahabat yang mengkhususkan diri untuk berfatwa dan berijtihat, antara lain sa'id ibn al musayyab(15h-96H)di madinah, dan 'lqamah ibn qays (w. 62 H) serta Ibrahim al Nakha'I (w. 96 H ) di irak .
pada masa ini juga semakin banyak terjadi perbedaan dan perdebatan antara para ulama mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang ditempuhnya. Perbedaan dan perdebatan tersebut, bukan saja antara ulama satu daerah dengan daerah yang lain, tetapi juga antara para ulama yang sama-sama tinggal dalam satu daerah.Kenyataan-kenyataan di atas mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah syari’ah yakni kaidah-kaidah yang bertalian dengan tujuan dan dasar-dasar syara’ dalam menetapkan hukum dalam berijtihad.
Dengan disusunnya kaidah-kaidah syar’iyah dan kaidah-kaidah lughawiyah dalam berijtihad pada abad II Hijriyah, maka telah terwujudlah Ilmu Ushul Fiqh.Dikatakan oleh Ibnu Nadim bahwa ulama yang pertama kali menyusun kitab Ilmu Ushul Fiqh ialah Imam Abu Yusuf -murid Imam Abu Hanifah- akan tetapi kitab tersebut tidak sampai kepada kita.
Diterangkan oleh Abdul Wahhab Khallaf, bahwa ulama yang pertama kali membukukan kaidah-kaidah Ilmu Ushul Fiqh dengan disertai alasan-alasannya adalah Muhammad bin Idris asy-Syafi’iy (150-204 H) dalam sebuah kitab yang diberi nama Ar-Risalah. Dan kitab tersebut adalah kitab dalam bidang Ilmu Ushul Fiqh yang pertama sampai kepada kita. Oleh karena itu terkenal di kalangan para ulama, bahwa beliau adalah pencipta Ilmu Ushul Fiqh[8].

4.       Imam al-Syafi’i Penulis Pertama Ushul Fiqh Sebagai Disiplin Ilmu.
Imam syafi'I belajar pertama kali dengan Syeikh Muslim bin Khalid al-Zinji hingga mendapat kesaksian untuk memberikan fatwa, walau Syafi’i ketika itu masih berumur lima belas tahun. Meskipun demikian, ia keberatan memberi fatwa, karena dirinya telah dikuasai obsesinya untuk menguasai seluruh faham fiqh yang berkembang pada zamannya. Sebagaimana Imam Malik di Madinah, Abu Hanifah di Kufah, al-Auza’i di Syam, al-Laits di Mesir.
Demi memenuhi apa yang menjadi obsesinya tersebut, ia bersungguh-sungguh untuk mewujudkannya, dengan menghafal karya monumental dari Imam Malik, yaitu kitab al-Muwaththa’, sebelum ia mulai berguru kepada penyusunnya. Sehingga ketika ia belajar pada Imam Malik hanya dalam beberapa hari saja kitab al-Muwaththa’ selesai. Imam Malik sempat heran atas kecerdasan dan kefasihan Syafi’i dan selalu meminta untuk mengulang atau meneruskan bacaannya ketika belajar.
Setelah di Madinah bersama Imam Malik, ia meneruskan perkelanaannya mencari ilmu ke Kufah selama dua tahun. Dan Kufah, ia telah mentransfer seluruh fiqh Abu Hanifah dan telah banyak mendapat kemajuan yang luar biasa. Hal itu terlihat dalam setiap majlis pembahasan keagamaan Syafi’i sangat menonjol dan mendominasi. Di samping itu memang ditunjang oleh penguasaannya dalam ilmu filsafat, logika, fisika, kedokteran, falak dan ilmu-ilmu empiris lainnya, yang sebelumnya telah dipelajari dari tokoh rasionalis di Irak dan para murid Abu Hanifah selama di Madinah. Syafi’i tinggal di Madinah di bawah naungan Imam Malik hingga Imam Malik wafat pada tahun 179 H. Pada saat itu, umur beliau dua puluh sembilan tahun.
Sepeninggal gurunya, Syafi’i pergi ke Najran dengan tujuan bekerja, namun di sana ia justru mendapat kesempatan meleng­kapi obsesinya menguasai fiqhnya al-Laits, di mana dia berguru pada Yahya bin Hissan, salah seorang murid al-Laits. Dan dialah, Syafi’i mengambil seluruh pengetahuan fiqh al-Laits. Dan di sana pula lah, ia banyak bergaul dengan ulama Syi’ah dan banyak bergesekan dengan penguasa Sunni bahkan dia sempat dituduh memberontak dan menjadi pengikut golongan Syi’ah karena perkataan beliau yang bemada condong kepada keturuanan Ali bin Abi Thalib. Karena itu, ia sempat diajukan ke meja hijau di masa Harun al-Rasyid karena perkataannya sebagai berikut: “Jika Rafidhi (Syi’ah) itu mencintai keluarga Muhammad saw maka saksikanlah bahwa sesungguhnya saya Rafidhi.” Kejadian itu pada tahun 184 H, ketika ia berusia tiga puluh empat tahun.
Karya Imam Syafi’i yaitu, al-Risalah  adalah kitab ushul fiqh yang pertama ditulis. Kitab tersebut menjadi tonggak bagi perkembangan ushul fiqh sebagai bidang ilmu yang mandiri. Para ahli ushul menganggap Imam Syafi’i sebagai Bapak dan Pendiri ilmu ushul fiqh. Di kalangan madzhab Hanafi ada yang menolak bahwa Imam Syafi’i sebagai pendiri ushul fiqh. Mereka menyatakan bahwa Imam Abu Hanifah dan dua muridnya: Imam Abu Yusuf Ibnu Abi Laila dan Muhammad bin Hasan al-Syaybani adalah peletak ilmu ushul fiqh.[9] Sejarah memang mencatat bahwa Imam Syafi’i pernah berguru kepada Imam Muhammad bin Hasan al-Syaybani.
Klaim golongan Hanafi boleh jadi benar apabila dikaitkan dengan munculnya gagasan metodologis ushul fiqh. Imam Syafi‘i tidak memulai segalanya dari ruang kosong. Rumusan-rumusan yang beliau tulis tentu telah dibicarakan orang pada masanya. Apalagi pemikiran ushul fiqh di Iraq memang kaya dan maju di masa itu. Hanya saja, Imam Syafi‘i lah yang memiliki bukti otentik, berupa karya, yang bisa menjadi patokan bagi dimulainya ushul fiqh sebagai bidang ilmu yang mandiri.

5.      Aliran-Aliran Ushul Fiqh
Sejarah perkembangan ushul fiqh menunjukkan bahwa ilmu tersebut tidak mandeg, melainkan berkembang secara dinamis. Ada beberapa aliran metode penulisan ushul fiqh yang saat ini dikenal. Secara umum, para ahli membagi aliran penulisan ushul fiqh menjadi dua, yaitu mutakallimin (Syafi’iyyah) dan  aliran fukaha (Aliran Hanafiyah). Dari kedua aliran tersebut lahir aliran gabungan. Tiga aliran utama tersebut diuraikan sebagai berikut
a.       Aliran jumhur ulama ushul fiqh
Aliran ini dikenal dengan aliran Syafi’iyyah atau aliran mutakallimin. Alasan penamaan tersebut bisa dipahami mengingat karya-karya ushul fiqh aliran mutakallimin banyak lahir dari kalangan Syafi’iyyah, seperti al-Luma’ karya al-Syirazi, al-Mustashfa karya al-Ghazali, al-Mahsul karya Fakhruddin al-Razi, al-Burhan dan al-Waraqat karya al-Juwayni, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam karya al-Amidi, Minhaj al-Wushul ila Ilm a’-Ushul karya al-Baidlawi dan sebagainya. Karya al-Ghazali, al-Razi, dan al-Amidi banyak dirujuk oleh para ahli ushul fiqh dari madzhab non-Syafi’i. Kitab Rawdlah al-Nadzir wa Jannah al-Munadzir karya tokoh Hanabilah Ibnu Qudamah al-Maqdisi, misalnya, dipandang sebagai ringkasan dari al-Mustashfa karya al-Ghazali dan kitab Muntaha al-Wushul (al-Sul)wa al-Amal fi Ilmay al-Ushul wa al-Jadal karya Ibnu Hajib dipandang sebagai ringkasan kitab al-Ihkam fi ushul al-Ahkam karya al-Amidi.
Ada penulis dari kalangan Maliki, seperti:Ibnu Hajib (pengarang Muntaha al-Wushul (al-Sul) wa al-Alam fi Ilmay al-Ushul wa al-Jadal). Dan ada pula penulis dari kalangan Dzahiriyyah, seperti: Ibnu Hazm al-Andalusi (pengarang kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam).
Sebutan mutakallimin adalah sesuai dengan karakteristik penulisannya. Kaum mutakallimin adalah orang-orang yang banyak bergulat dengan pembahasan teologis dan banyak memanfaatkan pemikiran deduktif, termasuk logika Yunani. Orang-orang seperti Qadli Abdul Jabbar adalah seorang teolog Mu’tazilah. Imam Abu al-Husayn al-Bashri pun termasuk dalam aliran Mu’tazilah. Sementara itu, Imam Abu Bakar al-Baqillani, yang menulis buku al-Taqrib wa al-Irsyad dan diringkas oleh Imam al-Juwayni, dipandang sebagai Syaikh al-Ushuliyyin. Imam al-Juwayni sendiri, Imam al-Ghazali, dan Fakhruddin al-Razi adalah di antara tokoh-tokoh besar Asy’ariyyah penulis ushul fiqh. Ada pula penulis yang tidak menunjukkan kejelasan afiliasi teologis, tetapi menulis dengan pola mutakallimin, seperti Imam Abu Ishaq al-Syirazi.[10]
Ada beberapa ciri khas penulisan ushul fiqh aliran Mutakallimin, antara lain:
  1. Penggunaan deduksi di dalamnya. Ushul fiqh mutakallimin membahas kaidah-kaidah, baik disertai contoh maupun tidak. Kaidah-kaidah itulah yang menjadi pilar untuk pengambilan hukum. Jadi, kaidah dibuat dahulu sebelum digunakan dalam istimbath. Kaidah-kaidah tersebut utamanya berisi kaidah kebahasaan.
  2. Adanya pembahasan mengenai teori kalam dan teori pengetahuan, seperti terdapat dalam al-Luma karya al-Syirazi dan al-Ihkam karya al-Amidi. Teori kalam yang sering dibahas adalah tentang tahsin dan taqbih. Sementara itu, dalam pembahasan mengenai teori pengetahuan tersebut, dimasukkan pengertian ilmu dan terkadang dimasukkan pula muqaddimah mantiqiyyah (pengantar logika), sebagaimana terdapat dalam al-Mustashfa karya al-Ghazali, Rawdlah al-Nadzir karya Ibnu Qudamah, dan Muntaha al-Wushul (al-Sul) karya Ibnu Hajib.
Aliran mutakallimin mengembangkan gagasan-gagasan yang telah ada dalam kitab al-Risalah karya al-Syafi’i dengan berbagai penjelasan dan materi tambahan. Aliran ini banyak diikuti oleh para ulama dan menjadi aliran utama dalam ushul fiqh, serta bersifat lintas madzhab.
b.      Aliran fuqaha atau Hanafiyah  
Aliran Fuqaha atau hanafiyah adalah aliran yang dikembangkan  oleh kalangan ulama hanafiyah, aliran ini adalah aliran yang diikuti oleh para ulama madzhab Hanafi.[11] Madzhab Hanafi adalah madzhab yang sejak semula memiliki pengembangan metodologis yang baik. Hal itu dibuktikan dengan pengaruh perkembangan ilmu qawaid fiqh di kalangan Syafi’iyyah yang dipengaruhi oleh qawaid fiqh Hanafi. Karena itu, mereka mengembangkan sendiri model penulisan ushul fiqh yang khas madzhab Hanafi.
Ciri khas penulisan madzhab Hanafi adalah berangkat dari persoalan-persoalan hukum yang furu yang dibahas oleh para imam mereka, lalu membuat kesimpulan metodologis berdasarkan pemecahan hukum furu tersebut. Jadi, kaidah-kaidah dibuat secara induktif dari kasus-kasus hukum. Kaidah-kaidah tersebut bisa berubah dengan munculnya kasus-kasus hukum yang menuntut pemecahan hukum yang lain. Karena itu, ushul fiqh Hanafi dipenuhi dengan persoalan hukum yang nyata
 Karya ushul fiqh di kalangan Hanafi cukup banyak dikenal dan dirujuk. Kitab-kitab ushul fiqh yang khas menunjukkan metode Hanafiyah antara lain:
  1. al-Fushul fi Ushul Fiqh karya Imam Abu Bakar al-Jashshash (Ushul al-Jashshash) sebagai pengantar Ahkam al-Quran.
  2. Taqwim al-Adillah karya Imam Abu Zayd al-Dabbusi
  3. Kanz al-Wushul ila Ma’rifat al-Ushul karya Fakhr al-Islam al-Bazdawi.
  4. Ushul Fiqh karya Imam al-Sarakhsi (Ushul al-Syarakhsi)
c. Aliran yang menggabungkan antara dua aliran diatas
 Pada perkembangannya muncul tren untuk menggabungkan kitab ushul fiqh aliran mutakallimin dan Hanafiyah. Metode penulisan ushul fiqh aliran gabungan adalah dengan membumikan kaidah ke dalam realitas persoalan-persoalan fiqh. Persoalan hukum yang dibahas imam-imam madzhab diulas dan ditunjukkan kaidah yang menjadi sandarannya.
  Karya-karya gabungan lahir dari kalangan Hanafi dan kemudian diikuti kalangan Syafi’iyyah. Dari kalangan Hanafi lahir kitab Badi’ al-Nidzam al-jami‘ bayn Kitabay al-Bazdawi wa al-Ihkam yang merupakan gabungan antara kitab Ushul karya al-Bazdawi dan al-Ihkam karya al-Amidi. Kitab tersebut ditulis oleh Mudzaffar al-Din Ahmad bin Ali al-Hanafi. Ada pula kitab Tanqih Ushul karya Shadr al-Syariah al-Hanafi. Kitab tersebut adalah ringkasan dari Kitab al-Mahshul karya Imam al-Razi, Muntaha al-Wushul (al-Sul) karya Imam Ibnu Hajib, dan Ushul al-Bazdawi. Kitab tersebut ia syarah sendiri dengan judul karya Shadr al-Syari’ah al-Hanafi. Kemudian lahir kitab Syarh al-Tawdlih karya Sa’d al-Din al-Taftazani al-Syafii dan Jam’ al-Jawami’ karya Taj al-Din al-Subki al-Syafi’i. 
  Tiga aliran di atas adalah aliran utama dalam ushul fiqh. Sebenarnya ada pula yang memasukkan takhrij al-furu’ ‘ala al-ushul dan aliran khusus sebagai aliran lain dalam ushul fiqh. Aliran takhrij al-furu’ ‘ala al-ushul dipandang berwujud berdasarkan dua kitab yang secara jelas menyebut istilah tersebut, yaitu Kitab Takhrij al-Furu’ ‘Ala al-Ushul karya al-Isnawi al-Syafi‘i dan Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul karya al-Zanjani al-Hanafi. Sementara itu, aliran khusus adalah aliran yang mengkaji satu pokok bahasan ushul fiqh tertentu secara panjang lebar, seperti mengenai maslahah mursalah sebagaimana dilakukan oleh al-Syatibi dalam al-Muwafaqat atau oleh Muhammad Thahir ‘Asyur dalam Maqashid al-Syariah.  




[1] Amir,  Syarifuddin. Ushul Fiqih .(Jakarta, Perdana Media Group, 2004). hlm. 9

[2] Amir, syarifuddin. Ushul fiqh jilid 1.(Jakarta,perdana media group, 2008). Hlm :40
[3] Ibid hal:37
[4] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh,(Jakarta: PT Grafndo Persada, 2006) hlm: 31-32
[5] Lop. Cit hal:10
[6] Ibid hlm. 31
[7] Satria effendi,  M. zein. Ushul Fiqh(Jakarta:kencana,2009) hal:16
[8]Al –Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta : Al Majlis A’la Indonesia li Al-Dakwah I Islamiyah, 1972), hlm. 15
[9] Op. cit hal 128
[10] Wael B. Hallaq. A History of Islamic Legal Theories, an Introduction to Sunni Ushul Fiqh. (Cambridge:  Cambridge University Press. 1997),  hlm. 127
[11] Amir Syarifudin. Hal 14

MEMAHAMI SEJARAH PERKEMBANGAN KURIKULUM DI INDONESIA


I. Kurikulum Pendidikan Pra Kemerdekaan
Pendidikan pada prakemerdekaan dipengaruhi oleh kolonialisme. Hasilnya bangsa ini dididik untuk mengabdi kepada penjajah. Karena pada saat penjajahan semua bentuk pendidikan dipusatkan untuk membantu dan mendukung kepentingan penjajah. Tujuan pendidikan kolonial tidak terarah pada pembentukan dan pendidikan orang muda untuk mengabdi pada bangsa dan tanah airnya sendiri, akan tetapi dipakai untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat penjajah agar dapat ditransfer oleh penduduk pribumi dan menggiring penduduk pribumi menjadi budak dari pemerintahan kolonial
Pendidikan model bentukan Belanda pada masa ini terdapat dua macam[1]. Pertama, Sekolah Kelas Dua untuk anak pribumi dengan lama pendidikan 3 tahun. Sementara kurikulum yang diajarkan meliputi berhitung, menulis dan membaca. Kedua, Sekolah Kelas Satu yang diperuntukkan untuk anak pegawai pemerintah Hindia Belanda. Lama pendidikan ini awalnya 4 tahun, kemudian 5 tahun dan terakhir 7 tahun. Kurikulum yang diajarkan meliputi ilmu bumi, sejarah, ilmu hayat/menggambar dan ilmu mengukur tanah. Sementara bahasa pengantarnya menggunakan Bahasa Melayu dan Bahasa Belanda.
Pada prinsipnya Undang-Undang Hindia Belanda membagi jenis penduduk menjadi 3 golongan, yaitu Eropa, Timur Asing, dan Bumiputera. Klasifikasi ini berpengaruh pula terhadap sistem pendidikan ketika itu, yaitu:
  1. ELS (Europe Lagere School) yaitu sekolah untuk anak-anak Eropa, Tionghoa, dan Indonesia yang menurut undang-undang disamakan haknya dengan bangsa Eropa.
  2. HCS (Holand Chinese School) yaitu sekolah untuk golongan Tionghoa.     
  3. HIS (Holand Inlandse School) yaitu sekolah untuk rakyat pribumi atau bumiputra golongan atas.
Ini merupakan gambaran pendidikan rendah di Indonesia masa Belanda yang berlangsung sampai dengan tahun 1942.
Sementara untuk kelas menengah didirikan Gymnasium yang terbatas siswanya hanya orang-orang Barat atau golongan ningrat. Masa belajar pendidikan ini berlangsung selama 3 tahun. Pendidikan ini bertujuan untuk menciptakan pegawai-pegawai menengah dan tingkat tinggi. Sedang mata pelajaran yang diajarkan meliputi Bahasa Belanda, bahasa Inggris, Ilmu Hitung, Aljabar, ilmu ukur, ilmu alam atau kimia, ilmu hayat, ilmu bumi, sejarah dan tatabuku. Perkembangan selanjutnya, Gymnasium berubah menjadi OSVIA dan HBS. OSVIA sebagian diperuntukkan golongan ningrat bumiputera, sedang HBS (Hogore Burgere School) untuk orang Belanda dari golongan tinggi. Dari model pendidikan ini kemudian menjelma menjadi MULO (Meer Uifgebried Order Wijs) yang lama pendidikannya ditambahkan 1 tahun dengan dasar bahwa anak-anak pribumi dianggap kesulitan memahami pelajaran. Bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Melayu.
Pada tingkatan atas, Belanda mendirikan AMS (Algemene Midelbare School). Sekolah ini didirikan pada 1919, sebagai lanjutan dari sekolah lanjutan pertama atau MULO. Lama pendidikan ini berlangsung selama 3 tahun yang terbagi pada bagian A dan bagian B. Bagian A spesifikasinya adalah ilmu kebudayaan yaitu kesusatraan timur dan kesusatraan klasik barat. Kesusastraan timur meliputi bahasa Jawa, Melayu, Sejarah Indonesia dan ilmu bangsa-bangsa. Sedang kesusatraan klasik barat lebih kepada bahasa latin. Sedang bagian B spesifikasi pelajarannya adalah Ilmu Pengetahuan Kealaman yang meliputi ilmu pasti dan ilmu alam.
Sementara ketika kependudukan beralih dari Belanda ke Jepang, maka pendidikan yang berbau Belanda disingkirkan dengan diganti pendidikan berciri khas Jepang dan sesuai dengan tujuan mereka. Pada pendidikan tingkat rendahan Jepang menggantinya dengan sebutan Kokumin Gako dengan lama pendidikan 6 tahun. Kurikulum pendidikan ini lebih menitik beratkan pada olahraga kemiliteran yang memang bertujuan untuk membantu pertahanan Jepang. Anak-anak masa ini diajarkan untuk mengumpulkan kerikil dan pasir untuk pertahanan, serta menanam pohon jarak untuk membuat minyak sebagai kepentingan perang. Namun masa ini, bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Dengan demikian penggunaan bahasa Indonesia hampir merata di semua sekolah. Materi yang dipelajari sebenarnya tidak jauh beda dengan masa pendudukan Belanda, namun hanya saja yang awalnya semua hal yang berbau Belanda tergantikan dengan model-model Jepang.
  1. Kurikulum Pendidikan Masa Orde Lama
Kurikulum pada era Orde Lama dibagi manjadi 2 kurikulum di antaranya:
1.      Rencana Pelajaran 1947
Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah dalam bahasa Belanda “Leer plan” artinya rencana pelajaran. Perubahan arah pendidikan lebih bersifat politis, dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Sedangkan, asas pendidikan ditetapkan Pancasila. Kurikulum yang berjalan saat itu dikenal dengan sebutan “Rencana Pelajaran 1947”, yang baru dilaksanakan pada tahun 1950. Orientasi Rencana Pelajaran 1947 tidak menekankan pada pendidikan pikiran. Yang diutamakan adalah : pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat. Pada masa tersebut siswa lebih diarahkan bagaimana cara bersosialisasi dengan masyarakat. Proses pendidikan sangat kental dengan kehidupan sehari-hari. Aspek afektif dan psikomotorik lebih ditekankan dengan pengadaan pelajaran kesenian dan pendidikan jasmani. Oleh karena itu, yang lebih penting adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran bela Negara.
2.      Rencana Pelajaran Terurai 1952
Tahun 1952, pendidikan di Indonesia mulai mengalami perbaikan dan penyempurnaan. Tujuan pendidikan dan pengajaran Republik Indonesia tercantum dalam UU No.12 tahun 1954 Bab II pasal 3 yang berbunyi :
“Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air”
Sedangkan tentang dasar pendidikan dan pengajaran dijelaskan dalam Bab III pasal 4. Organisasi kurikum yang digunakan adalah separated subject curriculum, sedang mata pelajaran yang diuraikan pada rencana pelajaran meliputi:
  1. Bahasa Indonesia
  2. Bahasa Daerah
  3. Berhitung
  4. Ilmu alam
  5. Ilmu Hayat
  6. Ilmu Bumi
  7. Sejarah
Dalam praktetk selain pelajaran tersebut diatas, juga diberikan pelajaran yang lain, di antaranya:
a.       Menyanyi
b.      Menggambar
c.       Pekerjaan tangan
d.      Olahraga
Direktorat Pendidikan dasar/prasekolah Departemen PP dan K pada tahun 1964 mengeluarkan suatu buku pedoman kurikulum baru namanya” Rencana Pendidikan Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar"
Sistem pendidikan masa ini dikenal dengan Sistem Panca Wardana atau sistem lima aspek perkembangan yaitu perkembangan pelajaran.[2]
a.       Perkembangan moral. Perkembangan moral meliputi bidang pelajaran, yaitu : pendidikan kemasyarakatan, dan pendidikan agama/ budi pekerti.
b.      Perkembangan intelegensia, meliputi : Bahasa Indonesia, bahasa daerah, berhitung dan pengetahuan alamiah.
c.       Perkembangan emosional/artistic, meliputi : seni sastra/musik, seni lukis/rupa, seni tari, seni sastra /drama.
d.      Perkembangan keprigelan, terdiri dari ; pertanian/peternakan, industry kecil/pekerjaan tangan, koperasi/tabungan dan keprigelan-keprigelan lain.
e.       Perkembangan jasmaniah, meliputi; pendidikan jasmaniah dan pendidikan kesehatan.
  1. Kurikulum Pendidikan Masa Orde Baru
1.      Kurikulum 1968
Kurikulum 1968 merupakan tonggak awal pendidikan masa orde baru. Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis, mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama.
a.       Prinsip-prinsip umum pelaksanaan pendidikan nasional pancasila yaitu :[3]
1)      Prinsip integritas
2)      Prinsip kontinuitas
3)      Prinsip sinkronisasi
b.      Landasan Idill
1)      Dasar Pendidikan Nasional
Dasar pendidikan adalah falsafah Negara pancasila (ketetapan MPRS No.XXVII/MPRS/1996 Bab II Pasal 2)
2)      Tujuan Pendidikan Nasional
Tujuan Pendidikan Nasional adalah membentuk manusia pancasila sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh pembukaan UUD !($5 dan isi UUD 1945 ( Ketetapan MPRS No. XXVII/1966 Bab II pasal 3)
3)      Isi Pendidikan Nasional
a)      Mempertinggi mental moral budi pekerti dan memperkuat keyakinan agama.
b)      Mempertinggi kecerdasan keterampilan
c)      Membina/mengembangkan fisik yang kuat dan sehat ( ketetapan MPRS No.XXVII/MPRS/1966 Bab II Pasal 4)
Kurikulum pada tingkatan SD 1968 dibagi menjadi tiga kelompok besar yaitu :
a)      kelompok pembinaan Pancasila; pendidikan agama, pendidikan kwarganegaraan, pendidikan bahasa Indonesia, bahasa daerah dan olahraga.
b)      Kelompok pembinaan pengetahuan dasar; berhitung, ilmu pengetahuan alam, pendidikan kesenian, pendidikan kesejahteraan keluarga (termasuk ilmu kesehatan).
c)      Kelompok kecakapan khusus; kejuruan agragia (pertanian, peternakan, perikanan), kejuruan teknik (pekerjaan tangan/perbekalan), kejuruan ketatalaksanaan/jasa (koperasi, tabungan).
Pada masa ini siswa hanya berperan sebagai pribadi yang pasif, dengan hanya menghapal teori-teori yang ada, tanpa ada pengaplikasian dari teori tersebut. Aspek afektif dan psikomotorik tidak ditonjolkan , hanya menekankan dari segi intelektualnya saja.
2.      Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efektif dan efisien berdasar MBO (management by objective). Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yang dikenal dengan istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci menjadi : tujuan instruksional umum (TIU), tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi.
Dasar pendidikan masa ini adalah KTPD, MPR-RI No. IV/MPR/1973, yaitu; Pendidikan nasional berdasarkan atas Pancasila dan bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun diri sendiri dan bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa
Kurikulum 1975 disusun berdasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut[4] ;
a.       Prinsip berorientasi pada tujuan
b.      Prinsip relevansi
c.       Prinsip efisiensi dan efektivitas
d.      Prinsip fleksibilitas program
e.       Prinsip berkesinambungan / kontinuitas
f.       Prinsip pendidikan seumur hidup
3.      Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung “process skill approach”. Proses menjadi lebih penting dalam pelaksanaan pendidikan. Peran siswa dalam kurikulum ini menjadi mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Learning (SAL). Pada kurikulum ini siswa diposisikan sebagai subjek dalam proses belajar mengajar. Siswa juga diperankan dalam pembentukkan suatu pengetahuan dengan diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat, bertanya, dan mendiskusikan sesuatu

4.      Kurikulum 1994 dan suplemen kurikulum 1999
Kurikulum 1994 merupakan hasil upaya untuk memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya, terutama kurikulum 1975 dan 1984. Dalam ranah pendidikan dasar, isi kurikulum sekurang-kurangnya wajib memuat bahan kajian dan pelajaran: pendidikan pancasila, pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, membaca dan menulis, matematika, pengantar sains dan teknologi, ilmu bumi, sejarah nasional dan sejarah umum, kerajinan tangan dan kesenian, pendidikan jasmani dan kesehatan, menggambar, bahasa Inggris.(PP. No. 28 tahun 1990. Pasal 14:2). Sementara materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah, kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain.
Dalam kurikulum pendidikan kelas dasar (SD/MI/SMP/MTS) ini, pengantar Sains dan Tekhnologi menempati peran penting untuk dipelajari anak didik meskipun tidak mengabaikan aspek yang lain
Ciri-ciri yang menonjol dari pemberlakuan kurikulum 1994, di antaranya sebagai berikut:
a.       Pembagian tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem catur wulan.
b.      Pembelajaran di sekolah lebih menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi).
c.       Kurikulum 1994 bersifat populis, yaitu yang memberlakukan satu sistem kurikulum untuk semua siswa di seluruh Indonesia.
d.      Pengulangan-pengulangan materi yang dianggap sulit perlu dilakukan untuk pemantapan pemahaman
  1. Kurikulum Pendidikan Pada Masa Reformasi
Pendidikan di era reformasi 1999 mengubah wajah sistem pendidikan Indonesia melalui UU No 22 tahun 1999, dengan ini pendidikan menjadi sektor pembangunan yang didesentralisasikan. Pemerintah memperkenalkan model “Manajemen Berbasis Sekolah”. Sementara untuk mengimbangi kebutuhan akan sumber daya manusia yang berkualitas, maka dibuat sistem “Kurikulum Berbasis Kompetensi” atau yang kerap disebut kurikulum KBK.
Memasuki tahun 2003 pemerintah membuat UU No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menggantikan UU No 2 tahun 1989, dan sejak saat itu pendidikan dipahami sebagai: “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.”.
1.      Kurikulum Berbasis Kompetensi (2004)
Pada pelaksanaan kurikulum ini, posisi siswa kembali ditempatkan sebagai subjek dalam proses pendidikan dengan terbukanya ruang diskusi untuk memperoleh suatu pengetahuan. Siswa justru dituntut untuk aktif dalam memperoleh informasi. Peran guru diposisikan kembali sebagai fasilitator dalam perolehan suatu informasi. KBK berupaya untuk menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal, berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
Kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi, sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif. Kurikulum ini menitik beratkan pada pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standar performasi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu. KBK diarahkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap dan minat peserta didik, agar dapat melakukan sesuatu dalam bentuk kemahiran, ketepatan dan keberhasilan dengan penuh tanggungjawab.
                  Karakteristik utama KBK, yaitu: 
  1. Menekankan pencapaian kompetensi siswa, bukan tuntasnya materi.
  2. Kurikulum dapat diperluas, diperdalam, dan disesuaikan dengan potensi siswa (normal, sedang, dan tinggi).
  3. Berpusat pada siswa.
  4. Orientasi pada proses dan hasil.
  5. Pendekatan dan metode yang digunakan beragam dan bersifat kontekstual.
  6. Guru bukan satu-satunya sumber ilmu pengetahuan.
  7.  Buku pelajaran bukan satu-satunya sumber belajar.
  8.  Belajar sepanjang hayat;       
  9. Belajar mengetahui (learning how to know).
  10.  Belajar melakukan (learning how to do).
  11.  Belajar menjadi diri sendiri (learning how to be)
  12.  Belajar hidup dalam keberagaman (learning how to live together).
2.       Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006
Secara umum KTSP tidak jauh berbeda dengan KBK namun perbedaan yang menonjol terletak pada kewenangan dalam penyusunannya, yaitu mengacu pada desentralisasi sistem pendidikan. Pemerintah pusat menetapkan standar kompetensi dan kompetensi dasar, sedangkan sekolah dituntut untuk mampu mengembangkan dalam bentuk silabus dan penilaiannya sesuai dengan kondisi sekolah dan daerahnya. Pada kurikulum ini sekolah sebagai satuan pendidikan berhak untuk menyusun dan membuat silabus pendidikan sesuai dengan kepentingan siswa dan kepentingan lingkungan. KTSP lebih mendorong pada lokalitas pendidikan. Karena KTSP berdasar pada pelaksanaan KBK, maka siswa juga diberikan kesempatan untuk memperoleh pengetahuan secara terbuka berdasarkan sistem ataupun silabus yang telah ditetapkan oleh masing-masing sekolah.
3.      Kurikulum 2013
Kurikulum SD/SMP/SMA/SMK mengalami perubahan-perubahan antara lain: mengenai proses pembelajaran, jumlah mata pelajaran, dan jumlah jam pelajaran. Beberapa mata pelajaran wajib yang mengalami perubahan penambahan jam mata pelajaran. Jumlah jam pelajaran SMP yang semula 32 jam seminggu menjadi 38 jam dalam seminggu. Seperti Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam semula 4 jam menjadi 5 jam, Bahasa Indonesia menjadi 6 jam. Disamping itu ada juga mata pelajaran yang dihapus dari mata pelajaran wajib yaitu TIK, Olahraga dan Kesehatan serta Seni dan Budaya. Olahraga dan kesehatan yang semula menjadi pelajaran wajib dirubah menjadi pelajaran muatan lokal. Perubahan proses pembelajaran (dari siswa diberi tahu menjadi siswa mencari tahu] dan proses penilaian (dari berfokus pada pengetahuan melalui penilaian output menjadi berbasis kemampuan melalui penilaian proses dan output) memerlukan penambahan jam pelajaran.
Elemen perubahan pada kurikulum 2013 yaitu:
1.      Standar kompetensi lulusan
2.      Standar Proses
3.      Standar isi
4.      Penilaian
Pengembangan Kurikulum 2013 merupakan langkah lanjutan Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 dan KTSP 2006 yang mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu.


[1] http://eclasser.blogspot.com/2012/12/sejarah-perkembangan-kurikulum-di.html
[2] Iskandar Wiryiokusumo dan Usman Mulyadi, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum,  (Jakarta : Bina Aksara, 1988), H.96
[3] Ibid,H.129
[4] http://zamzamisaleh.blogspot.com/2010/03/sejarah-perkembangan-kurikulum.html