Dalam
sejarah islam, fiqh sebagai hasil ijtihat para ulama lebih dahulu popular di
kalangan umat islam dan dibukukan dalam system tertentu dibandingan dengan
ushul fiqh. Perumusan ushul fiqh dilakukan setelah nabi saw wafat, yaitu periode
sahabat. Sementara ushul fiqh sebagai sebuah metode istinbath, baru tersusun
sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke 2 hijriah. Namun, para ahli hokum
islam mengakui dalam prakteknya ushul fiqh muncul berbarengan dengan lahirnya
fiqh.[1]
1.
Fiqih
pada masa Nabi SAW
Ushul fiqih
bersamaan munculnya dengan ilmu fiqih meskipun dalam penyusunannya ilmu fiqih
dilakukan lebih dahulu dari pada ushul fiqih. sebenarnya keberadaan fiqih harus didahului oleh ushul fiqih, karena
ushul fiqih itu adalah ketentuan atau kaidah yang harus diikuti mujtahid pada
waktu menghasil fiqhnya. Namun dalam perumusanya ushul fiqih datang belakanga.[2]
Di zaman Rasulullah SAW sumber hukum Islam hanya dua, yaitu
Al-Quran dan As-sunnah. Apabila suatu kasus terjadi, Nabi SAW menunggu turunnya
wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka Rasulullah
SAW menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal
dengan hadits atau sunnah.
Hal ini antara lain dapat diketahui dari sabda Rasulullah
SAW sebagai berikut: “Sesungguhnya saya memberikan keputusan kepada kamu
melalui pendapatku dalam hal-hal yang tidak diturunkan wahyu kepadaku.” (HR.
Abu Daud dari Ummu Salamah)
Dengan cara seperti itulah mu'az ibn jabal memberiakn
jawaban kepada nabi dalam dialoq diantara keduanya sewaktu mu'az diutus nabi
keyaman untuk menduduki jabatan wali.[3]
عَنْ مُعَاذٍ
: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَمَّا بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى
الْيَمَنِ قَالَ لَهُ : كَيْفَ تَقْضِى إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟. قَالَ :
أَقْضِى بِكِتَابِ اللَّهِ. قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْهُ فِى كِتَابِ اللَّهِ؟
قَالَ : أَقْضِى بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. قَالَ : فَإِنْ
لَمْ تَجِدْهُ فِى سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ ..قَالَ : أَجْتَهِدُ بِرَأْيِى لاَ
آلُو.
“Dari mu’az : susungguhnya Rasulullah SAW ketika mengutusku
untuk pergi ke Yaman. Nabi bertanya padaku: “Bagaimana engkau (mu’az) mengambil
suatu keputusan hukum terhadap permasalahan hukum yang diajukan kepadamu?”
mu’az: “saya akan mengambil suatu keputusan
hukum berdasarkan kitab Allah (Al-Quran). Nabi : Kalau kamu tidak menemukan
dalam kitab Allah?
Mu’az,: saya akan mengambil keputusan
berdasarkan keputusan berdasarkan sunnah Rasulullah. Nabi: jika engkau tidak ketemukan dalam sunnah?
Mu’az: saya akan berijtihad, dan saya tidak akan menyimpang.
Dorongan untuk melakukan ijtihad itu
tersirat juga dalam hadits Nabi yang menjelaskan tentang pahala yang diperoleh
seseorang yang melakukan ijtihad sebagai upaya yang sungguh-sungguh dalam
mencurahkan pemikiran baik hasil usahanya benar atau salah. Selain dalam bentuk
anjuran dan pembolehan ijtihad oleh Nabi di atas, Nabi sendiri pada dasarnya
telah memberikan isyarat terhadap kebolehan melakukan ijtihad setidak-tidaknya
dalam bentuk qiyas sebagaimana dapat kita temukan dalam hadits-haditnya sebagai
berikut :
“Seorang wanita namanya Khusaimiah
datang kepada Nabi dan bertanya, Ya Rasulullah ayah saya seharusnya telah
menunaikan haji, dia tidak kuat duduk dalam kendaraan karena sakit, Apakah saya
harus melakukan haji untuknya? Jawab Rasulullah dengan bertanya bagaimana
pendapatmu bila Ayahmu mempunyai utang? Apakah engkau harus membayar? Perempuan
itu menjawab , Ya, Nabi berkata utang kepada Allah lebih utama untuk dibayar.
Hadits ini menggambarkan upaya qiyas
yang dilakukan oleh Nabi, yaitu ketika seorang sahabat datang kepada Nabi yang
menanyakan tentang keharusan penunaian kewajiban ibadah haji bapaknya yang
mengidap sakit, Nabi menegaskan keharusan penunaiannya dengan melakukan
pengqiyasan terhadap pembayaran utang antara sesama manusia.
Contoh–contoh
yang ditemukan oleh rasulullah, baik ketika beliu masih hidup atau setelah
wafat, menjadi bukti terjadinya praktis ijtihad pada masa itu hanya saja, pada
waktu itu tidak tersusun sebagai ilmu yang kelak disebut ushul fiqh. Karna pada
masa itu, ilmu tersebut belum dibutuhkan adanya. Sebab, rasul mengetahui cara-cara
nash dalam menunjukan hokum, baik langsung maupun tidak langsung, sehingga
beliu tidak membutuhkan adanya suatu ilmu khusus yang mengatur kaidah-kaidah
ijtihad.[4]
2. Ushul
Fiqih pada masa sahabat
Para sahabat yang
melakukan ijtihat melahirkan fiqh secara praktis mereka menggunakan
kaidah-kaidah ushul fiqh, meskipun belum tersusun dalam satu disiplin ilmu. Kemampuan
para sahabat menerapkan kaedah-kaedah ushul fiqh berasal dari bimbingan Nabi
SAW. Mereka mengetahui dan mengikuti secara langsung praktek-praktek tasyri'(pembentukan
hokum) yang dilakukan Rasul SAW.[5]
Sebagai contoh hasil
ijtihad para sahabat, yaitu : Umar bin Khattab RA tidak menjatuhkan hukuman
potong tangan kepada seseorang yang mencuri karena kelaparan
(darurat/terpaksa). Dan Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa wanita yang
suaminya meninggal dunia dan belum dicampuri serta belum ditentukan maharnya,
hanya berhak mendapatkan mut’ah. Ali menyamakan kedudukan wanita tersebut
dengan wanita yang telah dicerai oleh suaminya dan belum dicampuri serta belum
ditentukan maharnya, yang oleh syara’ ditetapkan hak mut’ah baginya,[6]
sebagaimana disebutkan dalam firman Allah yang artinya :
“Tidak ada sesuatupun
(mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur
dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu
memberikan mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut
kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian
menurut yang patut.(al baqarah:263)
Menurut abd al-wahab
abu sulaiman, para sahabat telah mempraktikan ijma', qias, dan
istislah(maslahah mursalah) bilamana hokum suatu masalah tidak ditemukan secara
tertulis dalam al-qu'an dan sunah. Praktik ijtihad para sahabat dengan memakai
metode-metode tersebut telah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang baru
mulai berkembang waktu itu. Menurut Muhammad abu Zahrah, ushul fiqh yang
dirumuskan kemudian berakar dan diramu dari praktik-praktik ijtihat para
sahabat[7]
3. Ushul
Fiqih Pada masa tabi’in.
Pada masa tabi'in
metode istinbat menjadi semakin jelas dan meluas di sebabkan tambah luas daerah
islam sehingga banyak permasalahan baru muncul. Banyak para tabi'in hasil
didikan sahabat yang mengkhususkan diri untuk berfatwa dan berijtihat, antara
lain sa'id ibn al musayyab(15h-96H)di madinah, dan 'lqamah ibn qays (w. 62 H)
serta Ibrahim al Nakha'I (w. 96 H ) di irak .
pada masa ini juga
semakin banyak terjadi perbedaan dan perdebatan antara para ulama mengenai
hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang ditempuhnya. Perbedaan dan perdebatan
tersebut, bukan saja antara ulama satu daerah dengan daerah yang lain, tetapi
juga antara para ulama yang sama-sama tinggal dalam satu
daerah.Kenyataan-kenyataan di atas mendorong para ulama untuk menyusun
kaidah-kaidah syari’ah yakni kaidah-kaidah yang bertalian dengan tujuan dan
dasar-dasar syara’ dalam menetapkan hukum dalam berijtihad.
Dengan disusunnya
kaidah-kaidah syar’iyah dan kaidah-kaidah lughawiyah dalam berijtihad pada abad
II Hijriyah, maka telah terwujudlah Ilmu Ushul Fiqh.Dikatakan oleh Ibnu Nadim
bahwa ulama yang pertama kali menyusun kitab Ilmu Ushul Fiqh ialah Imam Abu
Yusuf -murid Imam Abu Hanifah- akan tetapi kitab tersebut tidak sampai kepada
kita.
Diterangkan oleh
Abdul Wahhab Khallaf, bahwa ulama yang pertama kali membukukan kaidah-kaidah
Ilmu Ushul Fiqh dengan disertai alasan-alasannya adalah Muhammad bin Idris
asy-Syafi’iy (150-204 H) dalam sebuah kitab yang diberi nama Ar-Risalah. Dan
kitab tersebut adalah kitab dalam bidang Ilmu Ushul Fiqh yang pertama sampai
kepada kita. Oleh karena itu terkenal di kalangan para ulama, bahwa beliau
adalah pencipta Ilmu Ushul Fiqh[8].
4. Imam al-Syafi’i Penulis Pertama Ushul Fiqh
Sebagai Disiplin Ilmu.
Imam syafi'I belajar pertama kali
dengan Syeikh Muslim bin Khalid al-Zinji hingga mendapat kesaksian untuk
memberikan fatwa, walau Syafi’i ketika itu masih
berumur lima belas tahun. Meskipun demikian, ia keberatan memberi fatwa, karena
dirinya telah dikuasai obsesinya untuk menguasai seluruh faham fiqh yang
berkembang pada zamannya. Sebagaimana Imam Malik di Madinah, Abu Hanifah di
Kufah, al-Auza’i di Syam, al-Laits di Mesir.
Demi memenuhi apa
yang menjadi obsesinya tersebut, ia bersungguh-sungguh untuk mewujudkannya,
dengan menghafal karya monumental dari Imam Malik, yaitu kitab al-Muwaththa’,
sebelum ia mulai berguru kepada penyusunnya. Sehingga ketika ia belajar pada
Imam Malik hanya dalam beberapa hari saja kitab al-Muwaththa’ selesai.
Imam Malik sempat heran atas kecerdasan dan kefasihan Syafi’i dan selalu
meminta untuk mengulang atau meneruskan bacaannya ketika belajar.
Setelah di Madinah
bersama Imam Malik, ia meneruskan perkelanaannya mencari ilmu ke Kufah selama
dua tahun. Dan Kufah, ia telah mentransfer seluruh fiqh Abu Hanifah dan telah
banyak mendapat kemajuan yang luar biasa. Hal itu terlihat dalam setiap majlis
pembahasan keagamaan Syafi’i sangat menonjol dan mendominasi. Di samping itu
memang ditunjang oleh penguasaannya dalam ilmu filsafat, logika, fisika,
kedokteran, falak dan ilmu-ilmu empiris lainnya, yang sebelumnya telah
dipelajari dari tokoh rasionalis di Irak dan para murid Abu Hanifah selama di
Madinah. Syafi’i tinggal di Madinah di bawah naungan
Imam Malik hingga Imam Malik wafat pada tahun 179 H. Pada saat itu, umur beliau
dua puluh sembilan tahun.
Sepeninggal gurunya,
Syafi’i pergi ke Najran dengan tujuan bekerja, namun di sana ia justru mendapat
kesempatan melengkapi obsesinya menguasai fiqhnya al-Laits, di mana dia
berguru pada Yahya bin Hissan, salah seorang murid al-Laits. Dan dialah,
Syafi’i mengambil seluruh pengetahuan fiqh al-Laits.
Dan di sana pula lah, ia banyak bergaul dengan ulama Syi’ah dan banyak
bergesekan dengan penguasa Sunni bahkan dia sempat dituduh memberontak dan
menjadi pengikut golongan Syi’ah karena perkataan beliau yang bemada condong
kepada keturuanan Ali bin Abi Thalib. Karena itu, ia sempat diajukan ke meja
hijau di masa Harun al-Rasyid karena perkataannya sebagai berikut: “Jika
Rafidhi (Syi’ah) itu mencintai keluarga Muhammad saw maka saksikanlah bahwa
sesungguhnya saya Rafidhi.” Kejadian itu pada tahun 184 H, ketika ia berusia
tiga puluh empat tahun.
Karya Imam Syafi’i yaitu, al-Risalah adalah kitab ushul fiqh yang pertama
ditulis. Kitab tersebut menjadi tonggak bagi perkembangan ushul fiqh
sebagai bidang ilmu yang mandiri. Para ahli ushul menganggap Imam Syafi’i
sebagai Bapak dan Pendiri ilmu ushul fiqh. Di kalangan madzhab Hanafi
ada yang menolak bahwa Imam Syafi’i sebagai pendiri ushul fiqh. Mereka
menyatakan bahwa Imam Abu Hanifah dan dua muridnya: Imam Abu Yusuf Ibnu Abi
Laila dan Muhammad bin Hasan al-Syaybani adalah peletak ilmu ushul fiqh.[9]
Sejarah memang mencatat bahwa Imam Syafi’i pernah berguru kepada Imam
Muhammad bin Hasan al-Syaybani.
Klaim golongan Hanafi boleh jadi benar apabila dikaitkan
dengan munculnya gagasan metodologis ushul fiqh. Imam Syafi‘i tidak
memulai segalanya dari ruang kosong. Rumusan-rumusan yang beliau tulis tentu
telah dibicarakan orang pada masanya. Apalagi pemikiran ushul fiqh di
Iraq memang kaya dan maju di masa itu. Hanya saja, Imam Syafi‘i lah yang
memiliki bukti otentik, berupa karya, yang bisa menjadi patokan bagi dimulainya
ushul fiqh sebagai bidang ilmu yang mandiri.
5.
Aliran-Aliran Ushul Fiqh
Sejarah perkembangan ushul fiqh menunjukkan
bahwa ilmu tersebut tidak mandeg, melainkan berkembang secara dinamis. Ada
beberapa aliran metode penulisan ushul fiqh yang saat ini dikenal.
Secara umum, para ahli membagi aliran penulisan ushul fiqh menjadi
dua, yaitu mutakallimin (Syafi’iyyah) dan aliran fukaha (Aliran
Hanafiyah). Dari kedua aliran tersebut lahir aliran gabungan. Tiga aliran utama
tersebut diuraikan sebagai berikut
a.
Aliran jumhur ulama ushul
fiqh
Aliran ini dikenal dengan aliran Syafi’iyyah atau aliran
mutakallimin. Alasan penamaan tersebut bisa dipahami mengingat karya-karya ushul
fiqh aliran mutakallimin banyak lahir dari kalangan Syafi’iyyah,
seperti al-Luma’ karya al-Syirazi, al-Mustashfa karya
al-Ghazali, al-Mahsul karya Fakhruddin al-Razi, al-Burhan dan
al-Waraqat karya al-Juwayni, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam karya
al-Amidi, Minhaj al-Wushul ila Ilm a’-Ushul karya al-Baidlawi dan
sebagainya. Karya al-Ghazali, al-Razi, dan al-Amidi banyak dirujuk oleh para
ahli ushul fiqh dari madzhab non-Syafi’i. Kitab Rawdlah al-Nadzir
wa Jannah al-Munadzir karya tokoh Hanabilah Ibnu Qudamah al-Maqdisi,
misalnya, dipandang sebagai ringkasan dari al-Mustashfa karya
al-Ghazali dan kitab Muntaha al-Wushul (al-Sul)wa al-Amal fi Ilmay al-Ushul
wa al-Jadal karya Ibnu Hajib dipandang sebagai ringkasan kitab al-Ihkam
fi ushul al-Ahkam karya al-Amidi.
Ada penulis dari kalangan Maliki, seperti:Ibnu Hajib
(pengarang Muntaha al-Wushul (al-Sul) wa al-Alam fi Ilmay al-Ushul wa
al-Jadal). Dan ada pula penulis dari kalangan Dzahiriyyah, seperti: Ibnu
Hazm al-Andalusi (pengarang kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam).
Sebutan mutakallimin adalah sesuai dengan
karakteristik penulisannya. Kaum mutakallimin adalah orang-orang yang
banyak bergulat dengan pembahasan teologis dan banyak memanfaatkan pemikiran
deduktif, termasuk logika Yunani. Orang-orang seperti Qadli Abdul Jabbar adalah
seorang teolog Mu’tazilah. Imam Abu al-Husayn al-Bashri pun termasuk dalam
aliran Mu’tazilah. Sementara itu, Imam Abu Bakar al-Baqillani, yang menulis
buku al-Taqrib wa al-Irsyad dan diringkas oleh Imam al-Juwayni,
dipandang sebagai Syaikh al-Ushuliyyin. Imam al-Juwayni sendiri, Imam
al-Ghazali, dan Fakhruddin al-Razi adalah di antara tokoh-tokoh besar
Asy’ariyyah penulis ushul fiqh. Ada pula penulis yang tidak
menunjukkan kejelasan afiliasi teologis, tetapi menulis dengan pola mutakallimin,
seperti Imam Abu Ishaq al-Syirazi.[10]
Ada beberapa ciri khas penulisan ushul fiqh
aliran Mutakallimin, antara lain:
- Penggunaan deduksi di dalamnya. Ushul fiqh mutakallimin membahas kaidah-kaidah, baik disertai contoh maupun tidak. Kaidah-kaidah itulah yang menjadi pilar untuk pengambilan hukum. Jadi, kaidah dibuat dahulu sebelum digunakan dalam istimbath. Kaidah-kaidah tersebut utamanya berisi kaidah kebahasaan.
- Adanya pembahasan mengenai teori kalam dan teori pengetahuan, seperti terdapat dalam al-Luma karya al-Syirazi dan al-Ihkam karya al-Amidi. Teori kalam yang sering dibahas adalah tentang tahsin dan taqbih. Sementara itu, dalam pembahasan mengenai teori pengetahuan tersebut, dimasukkan pengertian ilmu dan terkadang dimasukkan pula muqaddimah mantiqiyyah (pengantar logika), sebagaimana terdapat dalam al-Mustashfa karya al-Ghazali, Rawdlah al-Nadzir karya Ibnu Qudamah, dan Muntaha al-Wushul (al-Sul) karya Ibnu Hajib.
Aliran
mutakallimin mengembangkan gagasan-gagasan yang telah ada dalam kitab al-Risalah
karya al-Syafi’i dengan berbagai penjelasan dan materi tambahan. Aliran ini
banyak diikuti oleh para ulama dan menjadi aliran utama dalam ushul fiqh,
serta bersifat lintas madzhab.
b.
Aliran fuqaha atau Hanafiyah
Aliran Fuqaha atau hanafiyah adalah aliran yang
dikembangkan oleh kalangan ulama hanafiyah,
aliran ini adalah aliran yang diikuti oleh para ulama madzhab Hanafi.[11]
Madzhab Hanafi adalah madzhab yang sejak semula memiliki pengembangan
metodologis yang baik. Hal itu dibuktikan dengan pengaruh perkembangan ilmu qawaid
fiqh di kalangan Syafi’iyyah yang dipengaruhi oleh qawaid fiqh
Hanafi. Karena itu, mereka mengembangkan sendiri model penulisan ushul fiqh
yang khas madzhab Hanafi.
Ciri khas penulisan madzhab Hanafi adalah berangkat dari
persoalan-persoalan hukum yang furu yang dibahas oleh para imam mereka, lalu
membuat kesimpulan metodologis berdasarkan pemecahan hukum furu
tersebut. Jadi, kaidah-kaidah dibuat secara induktif dari kasus-kasus hukum.
Kaidah-kaidah tersebut bisa berubah dengan munculnya kasus-kasus hukum yang
menuntut pemecahan hukum yang lain. Karena itu, ushul fiqh Hanafi
dipenuhi dengan persoalan hukum yang nyata
Karya ushul
fiqh di kalangan Hanafi cukup banyak dikenal dan dirujuk. Kitab-kitab ushul
fiqh yang khas menunjukkan metode Hanafiyah antara lain:
- al-Fushul fi Ushul Fiqh karya Imam Abu Bakar al-Jashshash (Ushul al-Jashshash) sebagai pengantar Ahkam al-Quran.
- Taqwim al-Adillah karya Imam Abu Zayd al-Dabbusi
- Kanz al-Wushul ila Ma’rifat al-Ushul karya Fakhr al-Islam al-Bazdawi.
- Ushul Fiqh karya Imam al-Sarakhsi (Ushul al-Syarakhsi)
c. Aliran yang menggabungkan antara dua aliran diatas
Pada
perkembangannya muncul tren untuk menggabungkan kitab ushul fiqh aliran mutakallimin
dan Hanafiyah. Metode penulisan ushul fiqh aliran gabungan adalah
dengan membumikan kaidah ke dalam realitas persoalan-persoalan fiqh.
Persoalan hukum yang dibahas imam-imam madzhab diulas dan ditunjukkan
kaidah yang menjadi sandarannya.
Karya-karya gabungan lahir dari kalangan Hanafi
dan kemudian diikuti kalangan Syafi’iyyah. Dari kalangan Hanafi lahir kitab Badi’
al-Nidzam al-jami‘ bayn Kitabay al-Bazdawi wa al-Ihkam yang merupakan
gabungan antara kitab Ushul karya al-Bazdawi dan al-Ihkam
karya al-Amidi. Kitab tersebut ditulis oleh Mudzaffar al-Din Ahmad bin Ali
al-Hanafi. Ada pula kitab Tanqih Ushul karya Shadr al-Syariah
al-Hanafi. Kitab tersebut adalah ringkasan dari Kitab al-Mahshul karya
Imam al-Razi, Muntaha al-Wushul (al-Sul) karya Imam Ibnu Hajib, dan Ushul
al-Bazdawi. Kitab tersebut ia syarah sendiri dengan judul karya Shadr
al-Syari’ah al-Hanafi. Kemudian lahir kitab Syarh al-Tawdlih
karya Sa’d al-Din al-Taftazani al-Syafii dan Jam’ al-Jawami’ karya Taj
al-Din al-Subki al-Syafi’i.
Tiga aliran di atas adalah aliran utama dalam ushul
fiqh. Sebenarnya ada pula yang memasukkan takhrij al-furu’ ‘ala
al-ushul dan aliran khusus sebagai aliran lain dalam ushul fiqh.
Aliran takhrij al-furu’ ‘ala al-ushul dipandang berwujud berdasarkan
dua kitab yang secara jelas menyebut istilah tersebut, yaitu Kitab Takhrij
al-Furu’ ‘Ala al-Ushul karya al-Isnawi al-Syafi‘i dan Takhrij al-Furu’
‘ala al-Ushul karya al-Zanjani al-Hanafi. Sementara itu, aliran khusus
adalah aliran yang mengkaji satu pokok bahasan ushul fiqh tertentu secara
panjang lebar, seperti mengenai maslahah mursalah sebagaimana
dilakukan oleh al-Syatibi dalam al-Muwafaqat atau oleh Muhammad Thahir
‘Asyur dalam Maqashid al-Syariah.
[1] Amir, Syarifuddin. Ushul
Fiqih .(Jakarta, Perdana Media Group, 2004). hlm. 9
[2] Amir, syarifuddin. Ushul fiqh jilid 1.(Jakarta,perdana media
group, 2008). Hlm :40
[3] Ibid hal:37
[4] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh,(Jakarta: PT
Grafndo Persada, 2006) hlm: 31-32
[5] Lop. Cit hal:10
[6] Ibid hlm. 31
[7] Satria effendi, M. zein.
Ushul Fiqh(Jakarta:kencana,2009) hal:16
[8]Al –Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta : Al Majlis
A’la Indonesia li Al-Dakwah I Islamiyah, 1972), hlm. 15
[9] Op. cit hal 128
[10] Wael B. Hallaq. A
History of Islamic Legal Theories, an Introduction to Sunni Ushul Fiqh.
(Cambridge: Cambridge University Press. 1997), hlm. 127
[11] Amir Syarifudin. Hal 14